Menjelang akhir tahun 2019, para ekonom dan lembaga keuangan (finansial) memberikan proyeksi apa yang bakal terjadi pada tahun depan: 2020. Sekilas terpapar harapan, mestinya perekonomian 2020 akan lebih baik dari tahun ini, atau minimal sama. Meski, tidak bisa diharapkan untuk bertumbuh luar biasa seperti ketika terjadi "commodity booming" pada beberapa tahun silam.

Pada tahun 2019, nyaris semua pelaku ekonomi, termasuk masyarakat pada umumnya, cenderung menahan diri. Mereka wait and see, menunggu apa yang terjadi dengan situasi politik. Maklum tahun 2019, kita sebagai bangsa disibukkan oleh peristiwa pilpres. Sebagai bangsa yang besar dan heterogen dengan aneka partai dan golongan, momentum tahun politik seperti pilpres selalu menguras energi dan menimbulkan ketidakpastian plus kecemasan di kalangan pelaku ekonomi dan bisnis, terutama pengusaha besar pemilik belasan perusahaan.

Kendati demikian, hingga triwulan III-2019 (c-to-c) perekonomian tumbuh 5,02%. Walaupun data sampai akhir tahun baru muncul pada Februari tahun depan, namun angkanya tidak akan jauh berbeda. 

Namun, untuk tahun 2020, konsentrasi bangsa ini — yang terus disemangati rezim Joko Widodo-Ma'ruf Amin—akan lebih terarah pada pembangunan. Rasa optimisme paling kuat menyeruak dari Bank Indonesia (BI) yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 berada pada kisaran 5,1%-5,5% dengan titik 5,3% sebagaimana yang dicantumkan pemerintah dalam APBN 2020.

BI, seperti terungkap dari ujaran pimpinannya, Perry Warjiyo, menyatakan prospek ekonomi Indonesia pada tahun 2020 masih baik dan cenderung meningkat karena stabilitas ekonomi nasional yang terjaga dan berlanjutnya momentum pertumbuhan ekonomi.

Keyakinan itu didasarkan pada permintaan domestik, konsumsi, dan investasi yang tercatat di sejumlah wilayah di Indonesia yang ditopang faktor-faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, seperti inflasi yang dipercaya akan berada di posisi 3,1% pada tahun 2019. Bahkan, pada tahun 2020, BI juga memprediksi inflasi akan berada di sasaran 3% plus minus 1%.

Selain itu, diperkirakan rupiah juga akan bergerak stabil pada 2020 karena neraca perdagangan yang bahkan pada Oktober 2019 lalu tercatat surplus tipis, dan juga ketersediaan cadangan devisa pertanian untuk atasi CAD (current account deficit).

Selanjutnya, stabilitas sistem keuangan yang relative terjaga. Kredit perbankan memang tumbuh terbatas tahun 2019, tetapi BI meyakini di tahun 2020 akan meningkat dan sejalan dengan turunnya suku bunga dan juga membaiknya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Tentu tidak semua ekonom dan lembaga finansial memiliki bobot harapan dan keyakinan yang sama dengan BI. Bank Dunia (World Bank) misalnya, merilis proyeksi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5%-5,1% pada 2020. Proyeksi pertumbuhan tersebut lebih rendah dari proyeksi pada Juni 2019. Saat itu, Bank Dunia memandang ekonomi Indonesia mampu tumbuh pada level 5,1% pada 2019 dan 5,2% pada 2020. 

Demikian halnya Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 tertahan di angka 5% sebagaimana tertuang pada OECD Economic Outlook November 2019.

Bahkan, J.P. Morgan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 dan 2021 di angka 4,9%, dan Center of Reform on Economics (CORE) pun memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 4,9%-5,1%.

Berharap pada Omnibus Law

Berbagai angka proyeksi dengan sejumlah asumsi di atas merupakan ekspektasi minimalis. Karena itu, angka proyeksi masih bisa lebih tinggi dan ruang ekspektasi masih bisa diperlebar. Mungkin berlebihan untuk melampaui angka pertumbuhan yang pernah dicapai seperti saat kejayaan komoditas, namun minimal bisa keluar dari level psikologis 5%.

Untuk mencapai level tersebut, dibutuhkan sejumlah syarat. Terkait syarat ini, penulis ingin mengutip Priasto Aji, ekonom Asian Development Bank yang mengajukan tiga syarat berikut. Pertama, konsistensi dalam pengembangan infrastruktur. Seperti diketahui ketersediaan infrastruktur penting untuk pertumbuhan dan konektivitas. Hanya dengan infrastruktur yang bagus, distribusi barang dan jasa bisa dijangkau dengan harga yang lebih murah. Keterbukaan pada investor asing dalam pembangunan infrastruktur menjadi sangat penting.

Kedua, pengembangan sumber daya manusia dalam bidang keterampilan sehingga menopang berbagai kegiatan bisnis dalam skala kecil dan mengenah (UMKM). Dalam hal ini termasuk pemanfaatan teknologi digital guna mengoptimalkan kinerja bisnis dan mengakses sumber pendanaan dan market place.

Ketiga, untuk meningkatkan pertumbuhan, reformasi ekonomi harus terus berjalan, memperbanyak investasi serta pendirian start-up dipermudah aksesnya. Salah satu caranya adalah dengan menyediakan akses finansial bagi masyarakat yang ingin jadi pengusaha.

Dalam konteks perekonomian 2020, pemerintah tentu harus menyiapkan diri untuk memenuhi syarat-syarat tersebut melalui peluncuran regulasi yang komprehensif, yakni Omnibus Law. Menjelang akhir tahun ini, draf Omnibus Law didaftarkan ke DPR untuk dibahas dan diharapkan mencapai final paling lambat April 2020.

Ada tiga hal yang disasar pemerintah melalui Omnibus Law, yakni UU perpajakan, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Regulasi ini diyakini dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk yang terkait dengan investasi dan pengembangan UMKM. Pasalnya, regulasi ini akan membenahi puluhan undang-undang (UU) yang masih tumpang tindih dan menjadi penghambat bisnis di Indonesia. Dengan demikian, kehadiran UU 'sapu jagad' menjadi relevan dalam menopang pertumbuhan ekonomi dengan mendukung pencapaian tiga syarat di atas.

Sejumlah ekonom bahkan meyakini bahwa kehadiran Omnibus Law akan berkontribusi sekitar 1% pada pertumbuhan ekonomi. Dengan keyakinan tersebut, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi tahun depan menembus angka 6%. 

Asal saja, pemerintah tidak lupa memberi perhatian pada salah satu hal penting, yakni konsumsi rumah tangga pada 2020 yang diproyeksikan mengalami sedikit koreksi dibandingkan dengan 2019. Benar bahwa di satu sisi, pendapatan masyarakat diproyeksikan akan membaik karena adanya potensi kenaikan harga CPO, alokasi bansos dari pemerintah yang meningkat dan kenaikan UMP, penyelenggaraan Pilkada 2020 di sembilan provinsi dan 261 kota/kabupaten, hingga pelonggaran moneter yang akan berdampak positif pada sektor riil.

Namun, sejumlah kebijakan pemerintah lain justru ada yang menggerus daya beli seperti penghapusan subsidi listrik golongan 900 VA, pemangkasan subsidi solar dari Rp 2.000 per liter menjadi Rp 1.000 per liter, pemangkasan subsidi LPG 3 kg, kenaikan iuran BPJS, serta kenaikan cukai rokok.

Hal ini tentu tidak bida dianggap sepele karena konsumsi rumah tangga merupakan salah satu faktor dominan yang menggerakkan pertumbuhan. Dari struktur PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia pada saat ini, konsumsi rumah tangga memberi sumbangan sebesar 65,82%. 

Bayangan Resesi Global

Selain faktor-faktor internal di atas, yang tidak bisa diabaikan adalah faktor eksternal atau global. Tentu saja, faktor global yang sudah dikalkulasi dan masuk dalam angka proyeksi adalah perang dagang antara China dan Amerika Serikat.

Hanya saja, mesti harus dihitung juga secara jeli dampak lanjutan dari pertarungan ekonomi dua raksasa dunia yang bisa-bisa berujung pada resesi ekonomi global.

Kita tidak bisa memastikan apakah resesi akan terjadi atau tidak. Tidak semua ekonom memiliki respons yang seragam soal ini. Namun, menutup tulisan ini saya ingin kita mencamkan pendapat dari Noriel Roubini. Dialah ekonom yang pada 2006 berdiri di depan para ekonom IMF dan mengatakan bahwa AS tidak lama lagi akan menghadapi kegagalan kredit properti. Banyak yang tidak percaya, namun ternyata demikianlah yang terjadi. Pada pidato kedua pada 2008 dia berbicara soal krisis keuangan, dan kali ini semua orang memperhatikan dia.

Tentang 2020, Nouriel bersama Brunello Rosa menulis prediksi bertajuk The Making of a 2020 Recession and Financial Crisis yang menarik perhatian kita akan beberapa hal penting. Ada banyak faktor yang menjadi pendukung terjadinya resesi, namun tiga faktor berikut menjadi penyebabnya. Pertama, perang dagang antara Amerika Serikat dan China, pertarungan perdagangan AS dan Eropa serta negara-negara Amerika Utara, termasuk konflik AS dengan Iran. 

Kedua, penggelembungan aset seperti nilai saham dan kredit yang terlalu tinggi, termasuk kecemasan yang kuat pada cryptocurrency. "Cryptocurrency adalah ayah dan ibu semua penipuan dan bubble," ujarnya. Pada saat yang bersamaan, hubungan yang tidak harmonis antara Presiden AS Donald Trump dan The Fed terus mencuat.

Kecemasan yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Pelaksana IMF Kristina Georgieva tentang dahsyatnya dampak perang dagang antara AS-China. Efek kumulatif perang dagang dapat mengurangi output PDB global sebesar US$700 miliar atau 0,8% PDB dunia tahun 2008.

Tentu saja, belum bisa dipastikan akan terjadi resesi; namun sebuah peringatan dini bagi pemerintah Indonesia, bahwa proyeksi yang ditetapkan berdasarkan harapan-harapan bisa berantakan bila resesi global itu benar-benar tiba.