JAKARTA - Jamu mungkin terlalu biasa bagi sebagian dari kita. Namun, siapa sangka Sido Muncul bisa memanfaatkannya sebagai kekuatan bisnis yang menguntungkan?

Buku The Power of Jamu, The Wealth And Local Wisdom of Indonesia (Martha Tilaar, Bernard T. Widjaja. 2014), memberikan gambaran yang gamblang tentang potensi bisnis jamu tersebut. Pada bagian kesimpulan buku itu, mengutip penelitian dari Research and Development Division of Ministry of Agriculture, 2007, yang menegaskan prospek bisnis jamu.

Menurut riset tersebut, pada 2050 pasar herbal diperkirakan akan mencapai US$5 triliun, tumbuh 15% per tahun. Bandingkan dengan obat modern konvensional yang hanya bisa tumbuh 3% per tahun. Pada 2016, bisnis herbal tercatat sekitar Rp34 triliun, sekitar Rp 7,6 triliun adalah obat herbal, di luar jamu untuk konsumsi rumah tangga dan perorangan.

Sido Muncul tidak hanya memahami gambaran kekuatan jamu, tapi langsung tancap gas menggeluti bisnisnya, hingga menembus pasar ekspor. Meskipun kesadaran itu tidak muncul serta merta, tapi melalui proses yang panjang pada jalan yang berliku.

 

Impian dari Mlaten Trenggulun

Berawal dari pasangan suami istri Siem Thiam Hie dan Rahkmat Sulistio di Ambarawa. Pada awalnya keduanya memulai usaha Melkrey, yakni pemerahan susu. Karena krisis yang melanda dunia dan berimbas hingga Ambarawa pada 1928, keduanya pindah ke Solo pada 1930 dan membuka usaha roti bernama Roti Muncul.

Lima tahun kemudian, ibu Rakhmat yang memiliki kemampuan mengelola jamu dan rempah-rempah, memutuskan untuk memulai usaha jamu di Yogyakarta. Pada 1941 ramuan Jamu Tolak Angin pertama ditemukan dengan nama Jamu Tujuh Angin. Ketika terjadi agresi Belanda kedua 1949, pasangan suami istri ini pindah ke Semarang, persisnya di Jalan Mlaten Trenggulun 104. Di lokasi inilah, pada 1951, mereka serius memulai bisnis jamu dengan nama Sido Muncul, yang berarti 'impian yang terwujud'.

Saat ini, jamu hasil ramuan Sido Muncul sudah beredar meluas, bahkan menembus pasar dunia. Meskipun seperti diakui Presiden Direktur Sido Muncul David Hidayat pada awalnya produk-produk tersebut tidak diekspor secara langsung oleh perusahaan.

Produk-produk kami dibawa oleh para pedagang-pedagang negara tertentu atau diimpor untuk dijual di negara-negara tertentu. Perseroan tidak serta merta memberikan dukungan atas aktivitas pemasaran untuk pasar ekspor. "Namun melihat potensinya yang besar, kami memutuskan untuk mulai menjajaki serius penetrasi pasar ekspor," ujarnya kepada idnfinancials.com.

Setelah benar-benar yakin, perseroan mulai mendirikan kantor cabang di Filipina dan anak perusahaan di Nigeria. Hal itu dimaksudkan tidak hanya untuk membantu masalah distribusi saja, namun juga dari sisi marketing dan analisa pasar.

Hingga saat ini produk Sido Muncul telah dijual ke lebih dari 15 negara, dan terus berupaya untuk membuka pasar di negara tujuan baru karena meyakini potensi produk yang dapat diterima di pasar global.

Seperti diketahui, kontribusi ekspor yang paling besar masih datang dari produk Tolak Angin dan Kuku Bima Energi. Namun, produk-produk lainnya seperti permen, susu jahe, kopi jahe, STMJ, dan suplemen-suplemen herbal Sido muncul juga telah diekspor.

Sebelum melakukan ekspor, perseroan melakukan studi pasar terlebih dahulu. Terutama untuk mengecek produk apa yang cocok, bagaimana selera pasar di sana, target konsumen, branding hingga packaging yang sesuai. Semua hal itu harus didasarkan dari hasil studi sebelum perseroan memutuskan untuk serius melakukan penetrasi di suatu negara.

Makanya tidak mengherankan bahwa produk herbal Sido Muncul mendapatkan respon yang positif di setiap negara ekspor yang dituju. Khasiat dari produk Tolak Angin dan produk-produk jamu lainnya, hingga rasa produk minuman Kuku Bima Energi ternyata disukai karena rasanya yang enak, menyegarkan dan menambah energi bagi yang mereka yang mengkonsumsinya.

Beruntung pula bahwa di negara-negara ekspor, khususnya untuk produk jamu Sido Muncul jarang ditemukan ada produk yang sejenis. Kalau adapun biasanya produk kompetitor dari Indonesia, bukan produk negara asal tersebut. Namun, untuk kategori produk minuman dan permen karena memang lebih umum biasanya memang ada produk yang sejenis.

Sejak 2019 lalu, perseroan mulai fokus untuk memperbesar pasar di Filipina, Malaysia, dan Nigeria. Di ketiga negara tersebut produk perseroan mulai banyak, walaupun perseroan belum memiliki pabrik di sana, semua produksi dilakukan di Semarang, Jawa Tengah.

Negara yang paling jauh diincar adalah Nigeria. Pasalnya, negara ini merupakan negara yang besar, dengan jumlah penduduk mencapai 200 juta jiwa, serta tingkat perekonomian dan konsumsi yang besar.

Selain itu produk-produk Indonesia juga sudah dikenal baik oleh konsumen di sana, terutama produk Kuku Bima Energi. Namun ke depan, beberapa produk juga akan diperkenalkan dan dijual disana. Namun, saat ini semuanya masih dalam tahap proses studi dan registrasi produk.

Di Nigeria, perseroan mulai menancapkan bisnisnya pada kuartal pertama 2019. Namun sebelumnya produk Kuku Bima Energi telah diimpor terlebih dahulu oleh salah satu pedagang besar di Nigeria. Karena kami melihat potensi yang besar disana, perseroan ingin memulai lebih serius lagi untuk penetrasi pasar Nigeria. Melalui dukungan aktivitas marketing yang kuat, bukan tidak mungkin penjualan di Nigeria akan menjadi salah satu kontributor yang besar bagi perusahaan.

Hingga kini semua semua fasilitas produksi dilakukan di Indonesia, belum ada produksi sendiri di negara-negara tujuan ekspor. Namun muncul juga pemikiran untuk membangun pabrik di sana bila suatu saat volume penjualan sudah sesuai dengan ekspektasi perseroan.

Lagi pula, perseroan hingga kini belum memiliki distributor sendiri di luar negeri, tapi bekerja sama dengan distributor nasional di masing-masing negara. Saat ini, Filipina merupakan kontributor utama negara ekspor.

 

Terus berbenah

Dari sisi ekspor, kontribusi untuk perusahaan masih 5%. Porsi sumbangan dari ekspor ini akan terus meningkat, namun perlu waktu dan usaha untuk memanfaatkan peluang yang sangat besar ini.

Di dalam negeri, perseroan adalah market leader yang memiliki 200 jenis produk, yakni produk herbal berkontribusi 67%, Food and Beverage (F&B) berkontribusi 29%, dan farmasi sekitar 4%.

Tentu saja, Sido Muncul tidak melenggang sendirian, ada kompetitor yang harus dihadapi. Namun, kebanyakan dari mereka tidak konsisten, mereka datang dan pergi. Apalagi untuk untuk masuk kedalam industri jamu tidaklah mudah, tidak hanya harus memiliki produk yang bagus saja, tapi juga harus memiliki brand equity yang kuat.

Pesaing agak kuat bagi perseroan yang bisa disebutkan adalah PT Air Mancur setelah usaha jamu Nyonya Meneer yang berdiri pada 1919 dinyatakan pailit tiga tahun lalu, atau hanya dua tahun menjelang satu abad. Konflik keluarga ditengarai menjadi salah satu sebab utama kejatuhan Nyonya Meneer.

Bagi Sido Muncul, menjadi yang terbesar saat ini, justru kian mendorong upaya untuk terus berbenah diri, terutama dalam pemanfaatan teknologi produksi dan manajemen yang modern.

Sebenarnya sejak 1984, Sido Muncul mulai meletakan dasar bagi modernisasi pabriknya dengan merelokasi pabrik sederhananya ke pabrik yang representatif dengan mesin-mesin modern. Kemudian pada 11 November 2000, Sido Muncul kembali meresmikan pabrik baru di Ungaran yang lebih luas dan modern, sekaligus mendapat penghargaan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) setara dengan farmasi.

Pabrik dibangun di atas lokasi seluas 7 hektar, yakni lahan agrowisata 1,5 hektar, dan sisanya menjadi kawasan pendukung lingkungan pabrik. Kemudian pada tanggal 10 Februari 2010 telah dilakukan peletakan batu pertama pembangunan pabrik bahan baku herbal seluas 3.000 M2.

Setelah modernisasi pabrik, pada Desember 2013 Sido Muncul mengambil keputusan untuk go public dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Kultur dan regulasi yang harus diikuti perusahaan publik akan terus mendorong perseroan melakukan transformasi menuju manajemen yang kian profesional dan transparan untuk terus meraih impian dalam pusaran kekuatan jamu yang tak bertepi. (ARM/KR)