WASHINGTON — Data lonjakan impor pada kuartal pertama (Q1) Amerika Serikat (AS) dinilai tidak mencerminkan kondisi ekonomi aktual yang cenderung stagnan, akibat perang tarif yang dikobarkan Presiden Donald Trump pada 2 April 2025.

Sejumlah pihak menyebut impor melonjak karena perusahaan mengantisipasi kenaikan biaya, akibat kebijakan tarif Trump yang tidak menentu dan mengganggu stabilitas ekonomi.

Laporan awal Produk Domestik Bruto (PDB) dari Departemen Perdagangan AS yang dirilis pada Rabu (30/4), menurut banyak ekonom, terlalu dibesar-besarkan meskipun melambat. Apalagi laporan ini dirilis saat publik tak puas dengan kebijakan ekonomi Trump dalam 100 hari pertama masa jabatannya.

Beberapa maskapai besar bahkan mencabut proyeksi keuangan mereka untuk tahun 2025, karena ketidakpastian belanja perjalanan nonesensial akibat tarif impor.

Kepala Ekonom di RSM Amerika, Joe Brusuelas, menyebut guncangan perdagangan kini menjadi sorotan utama, menutupi semua pencapaian lain dari Gedung Putih.

Perubahan yang singkat dari guncangan perdagangan ke guncangan keuangan yang berpotensi membawa resesi, berlangsung hanya dalam waktu kurang dari 100 hari. Ekonom menilai perubahan ini harusnya jadi peringatan bagi para pendukung kebijakan tarif.

Sebuah survei dari Reuters yang diikuti sejumlah ekonom, memperkirakan PDB hanya tumbuh sebesar 0,3% secara tahunan, terendah sejak Q2 2022.

Di sisi lain, defisit perdagangan barang melebar pada Maret, membuat ekonom menurunkan proyeksi mereka. Goldman Sachs bahkan memperkirakan ekonomi akan terkontraksi sebesar 0,8%.

Sebagian pihak menilai data ini tidak mencerminkan ekonomi secara menyeluruh, karena adanya disrupsi dari impor emas.

Model analisa dari Federal Reserve Atlanta memproyeksikan penurunan PDB sebesar 1,5%. Sedangkan Federal Reserve New York justru memperkirakan pertumbuhan sebesar 2,6%.

Ekonom dari Moody’s Analytics, Matt Colyar, menyebut kebijakan tarif yang tidak konsisten membuat ketidakpastian meluas.

"Semua orang menyadari barang yang mereka beli akan semakin mahal," katanya.

Dari sisi inflasi, indeks harga konsumsi personal (PCE) inti, yang tidak memasukkan harga makanan dan energi, diperkirakan meningkat jadi 3,3% pada Q1 2025. Kenaikan 2,6% ini memperbesar peluang Federal Reserve untuk memangkas suku bunga.

Meskipun Trump telah melonggarkan tarif untuk sektor otomotif, tarif tinggi sebesar 145% terhadap produk China tetap diberlakukan.

Sementara itu, belanja konsumen—komponen terbesar dalam ekonomi AS—turun karena masyarakat cenderung menghabiskan uang mereka lebih awal untuk menghindari lonjakan harga.

Para ekonom menyarankan untuk lebih fokus pada "penjualan akhir kepada pembeli domestik swasta" guna mendapat gambaran yang lebih akurat tentang kekuatan ekonomi, karena angka PDB saat ini terlalu dipengaruhi oleh distorsi dari perdagangan dan persediaan.

Namun, Lou Crandall, Kepala Ekonom Wrightson ICAP, mengingatkan belanja konsumsi sendiri telah terdistorsi oleh aksi penimbunan barang sebelum tarif diberlakukan. “Kenaikan konsumsi ini kemungkinan melebih-lebihkan pertumbuhan output domestik yang sebenarnya,” ujarnya. (EF/KR)