China gandeng negara Amerika Latin untuk hadapi aksi perundungan AS

BEIJING – Di tengah ketegangan dagang dengan Amerika Serikat, China menggelar pertemuan dengan negara-negara Amerika Latin dan Karibia dalam Forum China-CELAC di Beijing, pada Senin (12/5).
Pertemuan ini menandai upaya serius Beijing memperluas pengaruhnya di kawasan yang selama ini berada dalam bayang-bayang dominasi geopolitik dan ekonomi Amerika Serikat.
Presiden China Xi Jinping dijadwalkan menyampaikan pidato penting dalam forum yang juga dihadiri Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, Presiden Kolombia Gustavo Petro, dan Presiden Chili Gabriel Boric. Pertemuan ini juga bertepatan dengan kunjungan kenegaraan Lula ke China.
Perdagangan bilateral China dengan blok CELAC mencapai US$427 miliar dari Januari hingga September 2024.
Menurut data bea cukai China, total perdagangan China dengan Amerika Latin hampir menyentuh US$519 miliar tahun lalu, dua kali lipat dari satu dekade lalu.
Xi Jinping menegaskan kerja sama ini merupakan bentuk dukungan terhadap multilateralisme, dan menentang "perundungan unilateral" dalam perdagangan global, sindiran halus terhadap kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat.
China menuduh AS menyalahgunakan tarif sebagai senjata dagang, dan berupaya membentuk koalisi global melawan praktik semacam itu.
Miao Deyu, Asisten Menteri Luar Negeri China, menegaskan negara-negara Amerika Latin menginginkan kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri, bukan pengaruh seperti “Doktrin Monroe Baru”, merujuk pada kebijakan AS era 1823 yang menolak intervensi asing di benua Amerika.
Sebaliknya, AS melalui Menteri Luar Negeri Marco Rubio mengklaim pemerintahan Trump fokus untuk mendahulukan kawasan Amerika.
Namun, kebijakan proteksionis dan ancaman terhadap kontrol Terusan Panama justru menimbulkan kekhawatiran di antara para pemimpin Amerika Latin.
Menurut Matias Spektor, pakar hubungan internasional dari Fundacao Getulio Vargas, Brasil, Lula memandang China bukan sekadar mitra dagang, tapi juga sebagai penyeimbang geopolitik terhadap dominasi AS.
Strategi Lula, menurut Spektor, adalah mendiversifikasi aliansi dan memperkuat posisi Brasil di dunia multipolar.
Meski demikian, tak semua negara di kawasan sepenuhnya membuka tangan. Meksiko, misalnya, mengambil pendekatan hati-hati karena ketergantungan dagangnya yang tinggi terhadap AS. Namun, investasi dan produk China tetap membanjiri pasar Meksiko.
Di sisi lain, Brasil tetap waspada. Meskipun perdagangan dengan China meningkat, terutama dalam ekspor kedelai, bijih besi, dan minyak mentah, Brasil juga menaikkan tarif atas baja dan produk teknologi dari China untuk melindungi industri domestiknya.
Ryan Berg dari Center for Strategic and International Studies, dikutip The New York Times, Selasa (12/5), menyebut negara-negara Amerika Latin khawatir menjadi "tempat pembuangan" barang murah China yang ditolak pasar AS.
Selain itu, forum ini juga menjadi ajang pembicaraan infrastruktur strategis, seperti potensi investasi China di sektor litium Chili, pelabuhan di Peru, dan keinginan Kolombia untuk bergabung dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) . Sebaliknya, Panama memilih keluar dari BRI tahun ini.
Pertemuan ini diyakini sebagai pemanasan menuju KTT BRICS yang akan diadakan di Rio de Janeiro pada Juli mendatang, menandai langkah lebih lanjut dalam pembentukan blok global non-barat yang kuat. (EF)