NEW YORK – Analis bank investasi Amerika Serikat Goldman Sachs memberi penjelasan mengapa pembicaraan dagang antara Amerika Serikat dan Uni Eropa menemui jalan buntu dan masih jauh dari kata sepakat.

Ketegangan dua kekuatan ekonomi dunia ini dipicu oleh perbedaan mendasar dalam pendekatan terhadap kebijakan tarif, terutama atas produk baja, aluminium, dan barang strategis lainnya.

Sven Jari Stehn dan Filippo Taddei, analis Goldman Sachs, menilai kedua negara memulai perundingan dari titik pijak yang sangat berbeda.

Bagi Washington, tarif tinggi yang dikenakan sejak awal tahun merupakan alat negosiasi untuk memaksa Eropa memberikan konsesi besar.

Sementara, pihak Brussel justru menganggap tarif tersebut sebagai batas maksimal yang harus ditekan agar tak memicu aksi balasan.

“Tarif digunakan AS sebagai tongkat diplomatik, sedangkan bagi Uni Eropa itu sinyal bahaya yang harus dihindari,” tulis Stehn dan Taddei dalam catatan analisis mereka, dilansir dari Investing.com, Sabtu (25/5).

Ketegangan ini bermula ketika Presiden AS Donald Trump pada awal tahun mengumumkan kebijakan tarif resiprokal, termasuk rencana pengenaan bea masuk 20% atas produk impor dari Uni Eropa.

Namun demi memberi waktu bagi para perunding Gedung Putih menjalin kesepakatan bilateral dengan negara-negara sekutu, Trump menunda penerapan kebijakan tersebut selama 90 hari hingga Juli mendatang.

Dalam periode jeda ini, AS telah mencapai kesepakatan dengan Inggris, serta sepakat dengan China untuk saling menunda dan menurunkan tarif hingga Agustus.

Namun, masa depan tarif terhadap Uni Eropa masih menjadi tanda tanya.

Sebagai langkah antisipatif, Komisi Eropa di Brussel telah menyiapkan daftar produk AS senilai miliaran euro yang siap dikenai tarif balasan jika kebijakan 20% tersebut diaktifkan kembali.

Tak hanya itu, tarif universal 10% serta pungutan atas baja, aluminium, dan kendaraan bermotor masih tetap berlaku hingga kini.

Dengan tenggat waktu makin dekat, para analis Goldman memperkirakan kedua pihak kemungkinan akan memperpanjang masa jeda tarif dengan sedikit konsesi dari masing-masing pihak. Namun, mereka mengingatkan skenario damai ini bersifat tidak stabil.

Goldman memperkirakan, setelah masa jeda, AS berpotensi memberlakukan tarif baru secara luas terhadap barang-barang strategis.

Langkah itu hampir pasti akan dibalas Uni Eropa dengan tindakan moderat guna mencegah eskalasi lebih lanjut.

“Situasi ini menciptakan ekuilibrium yang rapuh dan tidak berkelanjutan,” tulis Stehn dan Taddei, seraya mengisyaratkan risiko perang dagang skala penuh antara AS dan Uni Eropa belum sepenuhnya hilang dari radar pasar global.

Langkah Trump langsung memberikan tarif 50% terhadap Uni Eropa mengakibatkan pasar obligasi negara maupun pasar saham Wall Street dan Eropa terguncang Jumat pekan lalu. (EF)