WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump menghentikan sementara proses penerbitan visa pelajar internasional, termasuk pelajar dari Indonesia.

Dalam kabel diplomatik yang diperoleh CBS News Selasa (27/5) kemarin, Menteri Luar Negeri Marco Rubio memerintahkan seluruh kedutaan AS untuk menghentikan penambahan jadwal wawancara baru bagi pemohon visa pelajar (F-1) dan pertukaran pelajar (J-1).

Semua janji temu yang belum terisi juga harus dibatalkan. Namun, wawancara yang sudah terjadwal tetap akan dilanjutkan. Penundaan ini bersifat sementara hingga ada instruksi lebih lanjut dalam beberapa hari mendatang.

Kabel diplomatik itu menyebut penangguhan visa pelajar internasional itu membantu pemerintah AS, dalam menjalankan pemeriksaan latar belakang pelajar dari berbagai negara secara lebih ketat.

Departemen Luar Negeri menyebut kebijakan ini akan memberi “dampak operasional signifikan” bagi kedutaan dan konsulat AS di seluruh dunia.

"Kami sangat serius dalam menyaring siapa yang masuk ke negara ini," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri, Tammy Bruce, dalam konferensi pers, seperti dilansir CBS News, Jumat (30/5).

Bruce menegaskan setiap keputusan penerbitan visa atas pertimbangan keamanan nasional.

Seorang pejabat Departemen Luar Negeri menambahkan semua pelamar visa non-imigran, termasuk pelajar, akan melewati proses evaluasi antar-lembaga untuk memastikan tidak ada risiko terhadap keamanan atau keselamatan publik AS.

Salah satunya termasuk pemeriksaan media sosial milik pelajar dari luar AS. Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) pada April lalu mengumumkan bahwa mereka akan memeriksa riwayat "aktivitas antisemitisme di media sosial dan kekerasan terhadap kelompok Yahudi" dari pemohon visa.

Kebijakan ini memicu ketegangan antara pemerintah AS dan sejumlah institusi pendidikan tinggi.

Baru-baru ini, DHS melarang Universitas Harvard untuk menerima mahasiswa internasional baru.

Menteri Keamanan Dalam Negeri, Kristi Noem, menuduh Harvard “memfasilitasi kekerasan, antisemitisme, dan bekerja sama dengan Partai Komunis China.”

Harvard membantah tuduhan itu dan menyebut larangan itu menyalahi hukum. Pengadilan federal pun telah memblokir kebijakan tersebut.

Selain itu, pemerintah juga berupaya mencabut visa atau mendeportasi mahasiswa yang diketahui aktif dalam gerakan pro-Palestina.

Dua di antaranya adalah mahasiswa Universitas Columbia, Mohsen Mahdawi dan Mahmoud Khalil, yang telah memiliki kartu hijau.

Pemerintah mengacu pada undang-undang yang memperbolehkan pencabutan visa jika tindakan seseorang menimbulkan “konsekuensi kebijakan luar negeri yang merugikan”.

Namun, tim hukum mahasiswa berargumen tindakan ini melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS tentang kebebasan berpendapat.

DHS juga dilaporkan mencoba mencabut status legal ribuan pelajar asing lainnya, sebagian besar karena pelanggaran hukum minor. Upaya ini pun telah diblokir oleh pengadilan federal. (EF/KR)