Ketidakpastian tarif Trump masih bayangi bursa global

JAKARTA — Pasar saham global menunjukkan respon berbeda terhadap keputusan pengadilan banding Amerika yang membatalkan keputusan pengadilan federal terkait kebijakan tarif Presiden Amerika Donald Trump maupun ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
Wall Street mencatat penguatan tipis usai keputusan pengadilan banding Amerika Serikat untuk mengembalikan tarif Trump yang semula dihadang oleh pengadilan federal.
Pada penutupan perdagangan Kamis malam (29/5) waktu setempat, seperti dilansir Bloomberg, ketiga indeks utama Amerika Serikat juga berhasil menguat.
S&P 500 naik 0,37% ke 5.900,05, dan Nasdaq 100 menguat 0,22% menjadi 5.199,30, serta Dow Jones bertumbuh 0,25% ke posisi 42.246,00.
Namun, pasar di kawasan Asia tidak mengalami hal serupa. Investor diduga masih bersikap hati-hati, terutama terkait kemungkinan pembalasan dagang dari Tiongkok terhadap kebijakan Amerika Serikat.
Indeks Nikkei 225 Jepang turun 0,3%, Kospi Korea Selatan melemah 0,4%, dan SSE Composite di Tiongkok bergerak datar.
Sementara di Hong Kong, Hang Seng Index (HSI) turun 283,81 poin menjadi 23.289,77, dan Shenzhen Index turun 86.58 menjadi 10.040,33.
Hal serupa terjadi di Eropa. Indeks DAX Jerman turun 0,44% menjadi 23.933,23, sementara CAC 40 Prancis melemah 0,11% ke level 7.779,72.
Para investor Eropa khawatir ketegangan perdagangan global akan mengganggu ekspor mereka, khususnya ke pasar AS dan Asia, seperti dilansir Moneycontrol Global Indices.
India juga mencatat penurunan. Indeks Sensex ditutup melemah 0,5% atau sekitar 300 poin, dan Nifty 50 turun 0,6% ke posisi 24.750. Penurunan tajam terjadi pada sektor teknologi informasi dan logam, meskipun arus dana asing tetap masuk.
Terdapat tiga faktor utama yang memengaruhi dinamika pasar saat ini.
- Pertama, ketidakpastian tarif AS.
- Kedua, ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Kenaikan imbal hasil obligasi AS mengindikasikan harapan pasar bahwa The Federal Reserve akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali tahun ini. Harapan ini mendorong minat investor terhadap aset berisiko seperti saham.
- Ketiga, ancaman perang dagang berkelanjutan. Negara-negara mitra dagang utama AS, termasuk Tiongkok, sedang mempertimbangkan langkah-langkah balasan. Ketegangan ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi global.
Di sisi lain, laporan terbaru dari Morgan Stanley menyebut bahwa tahun 2025 akan menjadi masa transisi bagi pasar keuangan.
Meskipun volatilitas diperkirakan tetap tinggi, peluang akumulasi tetap terbuka bagi investor jangka panjang yang berani mengambil risiko dalam kondisi pasar mendatar. (EF/ZH)