Pelajar RI terhambat visa AS, Wamen Stella siapkan jalan keluar

JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) mengeluarkan imbauan pada mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat (AS).
Imbauan itu menyusul kebijakan terbaru yang Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, pada Selasa 27 Mei 2025, yang menangguhkan penerbitan visa F, M, dan J hingga untuk sementara waktu.
Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, menyampaikan kebijakan tersebut sangat berdampak pada keberlangsungan studi mahasiswa Indonesia.
Stella mengimbau agar pelajar dari Indonesia tidak meninggalkan wilayah AS, menyusul keputusan pemerintahan Donald Trump yang menangguhkan penerbitan visa pelajar untuk sementara.
“Bagi adik-adik dan rekan-rekan yang saat ini sudah berada di AS dengan visa F, M, atau J, kami sangat merekomendasikan agar tidak melakukan perjalanan keluar wilayah AS,” kata Stella, dalam pernyataan resminya, Kamis (28/5).
Ia menyebut Kemdiktisaintek tengah mengambil langkah strategis menindaklanjuti kebijakan AS, termasuk memastikan beasiswa dan proses studi bagi pelajar Indonesia tetap berlanjut.
Pemerintah Indonesia, kata Stella, juga telah menyiapkan sejumlah langkah strategis guna mengantisipasi dampak lebih lanjut dari kebijakan ini.
Beberapa di antaranya adalah menjajaki peluang studi di perguruan tinggi unggulan di negara lain, hingga membuka opsi studi di perguruan tinggi dalam negeri.
“Bagi mereka yang telah menerima letter of acceptance dan beasiswa dari Kemendikbud Saintek, kami sedang menyiapkan alternatif baik di luar negeri maupun dalam negeri agar pendidikan kalian tetap berlanjut,” ujar Stella.
"Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi di bawah kepemimpinan Pak Menteri Brian Yuliarto terus bekerja keras dan bergerak cepat untuk mengutamakan studi kalian," imbuhnya.
Di sisi lain, kebijakan penangguhan visa ini disebut berkaitan dengan rencana pemerintah AS untuk memperluas pemeriksaan media sosial terhadap mahasiswa asing.
Situasi ini memanas setelah pencabutan sertifikasi Program Mahasiswa dan Pengunjung (SEVP) dari Universitas Harvard oleh Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, pada 22 Mei lalu.
Noem menyatakan izin menerima mahasiswa asing bukanlah hak yang melekat, melainkan hak istimewa yang bisa dicabut kapan saja, apalagi bila universitas dianggap tidak kooperatif dalam memberikan data.
Universitas Harvard merespons keputusan tersebut dengan menempuh jalur hukum. Wakil Presiden Eksekutif Harvard, Alan M. Garber, mengajukan gugatan dan permintaan perintah penahanan sementara untuk menghentikan kebijakan pencabutan SEVP tersebut.
“Pengadilan telah mengabulkan mosi kami, dan Harvard tetap dapat menerima mahasiswa internasional selama proses hukum berlangsung,” kata Garber dalam pernyataan resmi pada 25 Mei 2025.
Sementara itu Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Brian Yuliarto, menyatakan bahwa pihaknya akan terus bergerak cepat agar mahasiswa tetap mendapatkan akses pendidikan, meski situasi global sedang tidak stabil. (EF/KR)