Alasan hakim pukul mundur tarif impor Trump

NEW YORK - Pengadilan Perdagangan Internasional (Court of International Trade/CIT) Amerika Serikat (AS) memutuskan Trump melanggar hukum, karena menggunakan kekuasaan eksekutif presiden untuk memberlakukan tarif impor secara luas.
Putusan ini menyangkut tarif impor puluhan persen atas barang yang masuk ke AS dan diumumkan pada 2 April lalu, termasuk tarif tambahan terhadap barang dari Meksiko, Kanada, dan China.
Pemerintahan Trump berdalih kebijakan itu untuk mengatasi "ancaman ekonomi luar biasa". Namun pengadilan menilai ancaman itu tidak memenuhi syarat darurat nasional, sebagaimana diatur dalam International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) 1977, seperti dilansir The Guardian, Jumat (30/5).
"Undang-undang itu bukan alat untuk memberlakukan perang dagang unilateral," kata hakim panel CIT yang terdiri dari tiga orang, masing-masing ditunjuk oleh Presiden Reagan, Obama, dan Trump sendiri.
Kelompok nirlaba Liberty Justice Center (JLC) dan sejumlah negara bagian AS, seperti Oregon, Arizona, dan New York, menjadi pihak yang mengajukan gugatan. Mereka mewakili bisnis kecil yang merasa dirugikan akibat kebijakan tarif sepihak ini.
Meski pemerintah AS langsung mengajukan banding, dan tarif tetap berlaku sementara, putusan ini dinilai memberatkan posisi Trump, dalam berbagai negosiasi perdagangan, termasuk dengan Uni Eropa, China, Jepang, dan India.
Trump sempat mengancam akan memberlakukan tarif 50% terhadap barang impor dari Uni Eropa mulai 1 Juni, tetapi rencana itu ditunda hingga 9 Juli.
Kini, setelah putusan ini, Brussel bisa saja melihat adanya kelemahan dalam pendekatan negosiasi dagang Gedung Putih.
Investor menyambut baik putusan ini karena dianggap bisa meredam ketidakpastian dan tekanan terhadap perdagangan global.
Namun, sebagian analis menilai ketidakpastian hukum justru bisa mengganggu kepercayaan pasar dalam jangka pendek.
Meskipun IEEPA dinyatakan tidak dapat digunakan, Trump belum sepenuhnya kehilangan alat kebijakannya.
Menurut Jordan Rochester, analis dari bank Nomura, "Trump masih punya jalur lain untuk memberlakukan tarif, meski tidak secepat dan sekuat IEEPA."
Alternatif hukum tersebut termasuk Pasal 232 Undang-Undang (UU) Ekspansi Perdagangan 1962, yang sudah digunakan Trump untuk tarif baja, aluminium, dan otomotif.
Selain itu, Trump juga berpeluang menggunakan Pasal 122 UU Perdagangan 1974, serta Pasal 301 dan 338 dari UU Perdagangan 1930 sebagai dalih.
Kebijakan fiskal Trump juga turut menjadi sorotan. Ia sebelumnya berharap tambahan pendapatan dari tarif bisa membantu membiayai pemangkasan pajak besar-besaran, melalui "One Big Beautiful Bill" yang baru saja lolos di DPR AS.
Pemerintah Trump bersiap membawa kasus ini hingga Mahkamah Agung jika diperlukan.
Sementara itu, pemerintah Inggris memastikan tetap melanjutkan proses ratifikasi kesepakatan perdagangan dengan AS yang dicapai pada 8 Mei lalu, meskipun tarif "resiprokal" Trump menjadi dasar utama dari negosiasi tersebut. (EF/KR)