JAKARTA — Laporan terbaru Macro Poverty Outlook dari Bank Dunia edisi April 2025 menyebut 60,3% penduduk Indonesia, sekitar 171,8 juta jiwa, masih hidup di bawah garis kemiskinan hingga akhir tahun 2024.

Meskipun turun dari 61,8% yang dicatatakandi 2023, angka ini tetap jauh berbeda dengan data Badan Pusat Statistik (BPS), yang mencatat tingkat kemiskinan nasional hanya 8,57%, atau sekitar 24,06 juta jiwa, per September 2024.

Perbedaan signifikan ini muncul akibat metodologi pengukuran yang berbeda antara kedua lembaga.

Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan internasional, yang digambarkan lewat Purchasing Power Parity (PPP), yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara dengan kategori tingkat kemiskinan yang berbeda. 

Indonesia—yang kini tergolong sebagai negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita sebesar US$4.870—menggunakan ambang batas US$6,85 PPP per hari.

Standar US$6,85 PPP per hari ini diambil dari median garis kemiskinan 37 negara dalam kategori tersebut. Namun, BPS menggarisbawahi bahwa rentang GNI dalam kategori ini cukup lebar, mulai dari US$4.516 hingga US$14.005.

"Sehingga, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi," jelas BPS dalam siaran resminya.

Dalam kawasan, tingkat kemiskinan Indonesia berdasarkan standar Bank Dunia lebih baik dari Laos (68,5%) namun tertinggal dari negara seperti Malaysia (1,3%), Thailand (7,1%), bahkan Filipina (50,6%).

Namun, Bank Dunia juga memperkirakan bahwa angka kemiskinan Indonesia bisa terus turun menjadi 58,7% di 2025, 57,2% di 2026, dan 55,5% pada 2027.

Di sisi lain, BPS menggunakan metode kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia.

Garis kemiskinan ditentukan berdasarkan pengeluaran minimal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan nonpangan, seperti pendidikan, perumahan, dan transportasi, dan diukur dalam skala rumah tangga.

"Bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif," jelas BPS dalam siaran resminya.

Per September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita ditetapkan sebesar Rp595.242 per bulan. Dengan rata-rata rumah tangga Indonesia terdiri dari 4,71 orang, maka batas kemiskinan per rumah tangga mencapai Rp2.803.590 per bulan.

Garis ini pun bervariasi antar wilayah. Sebagai contoh, garis kemiskinan di DKI Jakarta mencapai Rp4.238.886, sementara di Nusa Tenggara Timur Rp3.102.215, dan di Lampung Rp2.821.375.

BPS pun mencatat bahwa per September 2024, di luar 8,57% penduduk miskin, terdapat 24,42% yang tergolong rentan miskin, 49,29% calon kelas menengah, dan hanya 0,46% yang tergolong kaya. (EF/ZH)