Hashim Djojohadikusumo: RI akan bangun pembangkit listrik nuklir 10 GW

JAKARTA - Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan serta adik Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengungkapkan bahwa Indonesia berencana untuk memperluas penggunaan energi terbarukan secara signifikan hingga 2040.
Rencana tersebut termasuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan kapasitas mencapai 10 gigawatt (GW).
Serta, kontrak untuk pengembangan PLTN ini akan mulai diberikan dalam lima tahun ke depan, dengan pembangunan yang memerlukan waktu yang panjang.
Hashim menyatakan bahwa Indonesia, yang merupakan salah satu negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, berencana mencapai netralitas karbon sebelum tahun 2050.
“Sebagian besar kontrak akan diberikan dalam lima tahun ke depan, terutama kontrak nuklir, karena pembangunannya yang memerlukan waktu panjang,” kata Hashim dalam wawancara dengan Reuters di New York, Kamis (1/5).
Pada 2040, Indonesia menargetkan penambahan kapasitas listrik sebesar 103 GW, yang terdiri dari 75 GW dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, panas bumi, dan biomassa, 10 GW dari tenaga nuklir, serta 18 GW dari gas.
Saat ini, kapasitas listrik terpasang Indonesia sekitar 90 GW, lebih dari setengahnya berasal dari batu bara.
Energi terbarukan hanya menyumbang kurang dari 15 GW dari kapasitas tersebut, dan Indonesia belum memiliki PLTN.
Hashim juga mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan tenaga nuklir internasional telah menunjukkan minat terhadap proyek nuklir Indonesia, di antaranya Rosatom (Rusia), China National Nuclear Corporation, Rolls Royce (Inggris), EDF (Prancis), serta NuScale Power Corporation (AS) yang mengembangkan reaktor modular kecil.
"Saya rasa sangat mungkin mereka akan ikut berinvestasi bersama lembaga seperti Danantara," tambah Hashim.
Meski belum ada keputusan mengenai lokasi pembangunan PLTN, Hashim menyebut wilayah barat Indonesia cocok untuk PLTN tunggal dengan kapasitas 1 GW, sementara reaktor modular kecil terapung yang menghasilkan hingga 700 megawatt (MW) cocok di wilayah timur Indonesia.
Meskipun pemerintah berkomitmen untuk transisi energi, Hashim menegaskan bahwa pendekatan yang diambil akan seimbang, mengingat Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8%, naik dari sekitar 5% dalam beberapa tahun terakhir.
"Pemerintah tidak ingin melakukan bunuh diri ekonomi. Tidak akan ada phase out [penghentian total energi fosil], tapi akan ada phase down [pengurangan],” ujarnya.
Hashim juga menambahkan bahwa Indonesia sedang merencanakan kesepakatan dengan Asian Development Bank (ADB) untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Cirebon-1 yang berkapasitas 660 MW di Jawa Barat.
Kesepakatan ini didukung oleh skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$20 miliar, yang diharapkan rampung dalam beberapa bulan mendatang.
Namun, tantangan terkait risiko finansial dan hukum dari penutupan PLTU tersebut masih menjadi hambatan, dengan munculnya isu baru setelah pemerintah AS menarik diri dari kemitraan JETP. (DK)