The Fed untuk pertama kali sejak 1915 merugi US$192 miliar. Tanda apa?

JAKARTA – The Federal Reserve (The Fed) atau bank sentral Amerika Serikat untuk pertama kalinya sejak 1915 mengalami kerugian berturut-turut, pada tahun 2023 dan 2024, total senilai US$192 miliar.
“Ini secara sederhana berarti dalam dua tahun itu kemampuan The Fed mendapat pendapatan lebih rendah dibanding pengeluarannya,” kata sumber IDNFinancials yang dekat dengan Bank Indonesia.
Dia melanjutkan, data dari Federal Reserve memperlihatkan kerugian operasional tercatat mulai pada kuartal keempat tahun 2022, yang merupakan kerugian pertama sejak tahun 1915. Namun, akhirnya kerugian sepanjang tahun, seperti dikutip dari Barchart, terjadi pada tahun 2023 dan 2024, total senilai US$192 miliar.
Kerugian ini, jelas sumber itu, terutama disebabkan oleh kenaikan suku bunga acuan untuk menekan inflasi, yang menyebabkan lonjakan beban bunga yang harus dibayarkan oleh The Fed.
Beban bunga ini besarnya melampaui nilai pendapatan bunga dari surat berharga (US Treasury/UST) dan MBS (mortgage backed securities) yang dimiliki The Fed.
Seperti diketahui pendapatan utama bank sentral adalah pendapatan bunga atas surat berharga obligasi pemerintah AS (UST) dan MBS.
Sedangkan pengeluaran utama meliputi bunga yang dibayarkan atas deposit/reserve dan bunga atas reverse repo.
Jika mengalami kerugian, The Fed mencatat sebagai deferred asset, sehingga kerugian akan ditutupi terlebih dahulu sebelum ada distribusi laba (dari pendapatan obligasi AS) di masa depan.
William English, mantan staf The Fed, yang kini bekerja di Yale University, seperti dikutip CNBCIndonesia.com (23/9/2023), memperkirakan The Fed bakal merugi hingga US$200 miliar pada 2025.
Seperti diketahui, The Fed melakukan pembelian besar-besaran obligasi pemerintah dan swasta demi menyelamatkan ekonomi saat awal pandemi Covid pada 2020.
“Kami menggunakan kekuatan pinjaman ini hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya (dan) … akan terus menggunakan kekuatan ini secara kuat, proaktif, dan agresif sampai kami yakin bahwa kami berada di jalur pemulihan yang kokoh,” kata Jerome Powell, Ketua Federal Reserve, pada April 2020.
Pembelian itu mengakibatkan beban di neraca The Fed bengkak dari sekitar US$4 triliun pada pra-pandemi menjadi hampir US$8,9 triliun pada Maret 2022.
The Fed membeli obligasi jangka panjang di awal pandemi secara besar-besaran yang mengakibatkan harga obligasi naik, sementara yield (imbal hasil), sebaliknya, turun.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS pada Maret 2020 ada di kisaran 0,7%. Sementara, suku bunga The Fed pada awal pandemi tercatat ada di kisaran 0,00-0,25%.
Masalah muncul saat inflasi melonjak karena kenaikan harga energi dan pangan.
The Fed akhirnya harus menaikkan bunga dengan agresif. Sejak Maret 2022 hingga Juli 2023, The Fed menaikkan bunga sebesar 525 bps menjadi 5,25-5,50%.
Lonjakan suku bunga juga menaikkan yield obligasi pemerintah AS berjangka 10 tahun, pada tahun 2023 dan 2024, hingga di kisaran 4,3%. Nilai pasar dari portofolio di neraca The Fed pun jatuh sehingga The Fed merugi.
Jerome Powell menegaskan bahwa kerangka lama yang disusun pada tahun 2020, saat krisis COVID-19 memuncak, tidak lagi memadai untuk kondisi ekonomi saat ini yang penuh ketidakpastian dan suku bunga riil yang lebih tinggi.
Menurut Ray Dalio, pendiri Bridgewater Association, total utang pemerintah AS yang mencapai US$30 triliun dan ancaman inflasi jika mencetak uang membuat Amerika akhirnya tidak terhindarkan harus menaikkan tarif.
Beberapa hari lalu, 9 Mei 2025, The Fed ternyata diam-diam membeli lagi obligasi pemerintah AS senilai US$20 miliar, karena lelang obligasi oleh Departemen Keuangan AS yang ditargetkan US$150 miliar hanya laku US$78 miliar.
Terkait dengan keuangan Amerika, Ray Dalio, di platform X nya (13/5/2025), menjelaskan bahwa pada tahun 1971 pemerintah Amerika pernah kehabisan uang dan gagal membayar utangnya.
Tentu saja, lanjut dia, pemerintah AS tidak mengatakannya dengan cara seperti itu. Namun, dengan meninggalkan standar emas, dan arti uang seperti yang kita pahami saat itu pun berakhir.
"Saya memperkirakan pasar saham akan anjlok, tetapi justru naik hampir 25%. Itu mengejutkan saya. Namun, ketika saya menelusurinya, saya menemukan hal yang persis sama terjadi pada tahun 1933 dan menghasilkan dampak yang persis sama."
Pemerintah AS saat ini memang terlihat gencar melakukan penghematan dan berbagai macam cara lain, termasuk menaikkan tarif, untuk mengurangi defisit.
Terbaru, Presiden Trump sampai terlihat road show ke kawasan negara minyak di Timur Tengah untuk "membujuk" agar negara-negara kaya itu mau investasi di AS.
Bahkan, Trump sampai menerima pemberian pesawat bekas, yaitu jumbo jet Boeing 747, dari Kerajaan Qatar. (MT)