WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump, bersama Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS (HHS) Robert F. Kennedy Jr. dan Administrator CMS Mehmet Oz, secara resmi menurunkan harga obat di Amerika Serikat melalui kebijakan Most-Favored-Nation (MFN).

Kebijakan ini bertujuan untuk menyamakan harga obat-obatan di AS dengan harga di negara-negara maju lainnya yang secara ekonomi sebanding.

“Kami tidak akan lagi membiarkan rakyat Amerika membayar harga tiga hingga lima kali lebih mahal untuk obat yang sama dibanding negara lain,” kata Kennedy dalam pernyataan resmi HHS pada Selasa (20/5).

Ia menambahkan, “Hari ini, itu berakhir. Kami mengharapkan produsen obat memenuhi komitmen untuk menurunkan harga, atau kami akan mengambil tindakan.”

Langkah ini juga akan memotong peran perantara seperti Pharmacy Benefit Managers (PBMs), memungkinkan pasien membeli langsung dari produsen dengan harga MFN, yaitu harga terendah di negara dengan PDB per kapita minimal 60% dari PDB AS, berdasarkan standar OECD.

Kennedy menyoroti contoh nyata ketimpangan harga obat GLP-1 untuk diabetes dan obesitas yang dijual seharga US$88 di London, namun mencapai US$1.000 di AS, meskipun berasal dari produsen dan pabrik yang sama. Setelah diskon dari perusahaan asuransi, warga AS tetap harus membayar lebih dari US$400.

“Perusahaan farmasi meraih 70% laba mereka dari pasar Amerika, sementara negara ini hanya mencakup 4% populasi dunia,” tulis Kennedy dalam opini di Fox News.

“Tunggangan gratis global terhadap pasien Amerika harus diakhiri.”

Pemerintah berharap kebijakan ini akan mendorong produsen untuk menetapkan harga yang lebih adil dan mendorong negara lain membayar lebih agar AS tidak terus mensubsidi inovasi medis global sendirian. Sejumlah perusahaan farmasi AS dan satu produsen asing telah menyambut positif kebijakan ini, menurut Kennedy.

Namun, langkah ini memicu perdebatan. Presiden dan CEO PhRMA, Stephen J. Ubl, mengatakan penyebab utama harga tinggi di AS adalah negara lain yang tidak membayar dengan adil dan peran para perantara seperti PBMs.

“PBMs, rumah sakit, dan asuransi mengambil setengah dari setiap dolar yang dibelanjakan untuk obat,” katanya, dilansir medicaleconomics.com, Rabu (21/5).

Sebaliknya, J.C. Scott, CEO PCMA, asosiasi dagang PBM, menyalahkan perusahaan farmasi yang menetapkan harga tinggi, menahan persaingan, dan menghabiskan miliaran untuk iklan.

“PBMs tidak menentukan harga obat. Kami hanya mencoba mengurangi dampaknya,” jelasnya.

CEO National Community Pharmacists Association (NCPA), B. Douglas Hoey, menyambut baik upaya membatasi peran PBMs, namun menekankan pentingnya mempertahankan peran apoteker lokal dalam memastikan keselamatan pasien.

Ia mendukung model pembayaran yang lebih transparan dan berbasis biaya (cost-plus model).

Meski kebijakan ini masih dalam tahap awal, Pemerintah berjanji akan segera menindaklanjuti dengan peraturan tambahan jika produsen tidak mematuhi harga MFN. (EF)