Analisa Goldman Sachs mengapa harga emas akan terus naik

NEW YORK - Bank investasi besar dunia, Goldman Sachs, memberikan penjelasan mengapa harga emas global bisa menembus rekor tertinggi sepanjang masa pada akhir 2025.
Menurut Goldman Sachs ada dua hal mengapa hal tersebut bisa terjadi.
- 1. Didorong oleh gelombang pembelian emas besar-besaran dari bank sentral di seluruh dunia.
- 2. Lonjakan pembelian emas oleh investor ritel melalui instrumen Exchange-Traded Funds (ETF).
Dua kekuatan pasar ini diprediksi akan menciptakan permintaan jangka panjang yang belum pernah terjadi sebelumnya, sebagaimana dilaporkan oleh Goldman Sachs Research, melalui artikel “Why gold prices are forecast to rise to new record highs” yang ditampilkan di goldmansachs.com pada Kamis (15/5).
[ETF emas adalah reksa dana berbasis emas yang diperdagangkan di bursa saham, mirip seperti saham perusahaan. ETF emas dirancang untuk melacak harga emas, sehingga investor bisa mendapatkan eksposur terhadap pergerakan harga emas tanpa perlu membeli emas fisik.]
Emas dalam sejarah panjangnya sebagai logam mulia, kerap menjadi andalan saat krisis global dan ketidakpastian geopolitik.
Lonjakan harga emas sepanjang 2025 kembali membuktikan statusnya sebagai aset safe haven, apalagi di tengah kecemasan pasar atas kebijakan tarif dari pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump serta meningkatnya ancaman resesi.
Namun, emas juga mendapat dorongan kuat dari pelemahan harga saham dan ketidakpastian makroekonomi.
Meski sempat mengalami koreksi 5% akibat aksi jual untuk memenuhi margin pasar saham, Goldman Sachs mencatat bahwa hal tersebut bukan pelemahan fundamental melainkan tekanan likuiditas jangka pendek.
Salah satu pemicu utama lonjakan permintaan emas dalam dua tahun terakhir berasal dari respon terhadap pembekuan aset Rusia senilai lebih dari US$280 miliar oleh negara-negara G7.
Insiden tersebut menjadi sinyal keras bahwa cadangan devisa asing dalam bentuk dolar atau euro dapat disita secara sepihak oleh Amerika dan negara-negara G7.
Efek dominonya begitu nyata. Bank-bank sentral di dunia kini mengalihkan cadangan devisa mereka ke dalam bentuk emas fisik, yang lebih aman dan sepenuhnya bisa disimpan di dalam negeri.
Sejak 2022, pembelian emas oleh bank sentral melalui pasar over-the-counter London melonjak hingga lima kali lipat.
Negara-negara maju seperti AS, Jerman, dan Italia diketahui telah lama menyimpan sekitar 70% cadangan devisanya dalam bentuk emas, sebuah warisan dari era standar emas.
Sementara itu, negara berkembang seperti China baru mencapai kurang dari 10%.
Akibatnya, terjadi perlombaan senyap di antara bank sentral negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan ini, yang pada akhirnya mengerek permintaan emas global.
Selain bank sentral, investor institusi dan ritel melalui ETF juga memainkan peran penting. Dengan total nilai pengelolaan lebih dari US$294 miliar dan sekitar 3.000 ton emas, ETF menjadi instrumen populer bagi investor yang ingin melindungi kekayaan mereka dari inflasi dan gejolak pasar.
Kepemilikan ETF biasanya berkorelasi erat dengan tingkat suku bunga. Ketika imbal hasil obligasi melemah dan ketakutan akan resesi meningkat, investor beralih ke emas, memperbesar tekanan permintaan.
Meski sempat menyimpang dari tren historis karena dominasi pembelian bank sentral, hubungan antara suku bunga dan emas belum sepenuhnya hilang.
Thomas, analis dari Goldman Sachs, menjelaskan bahwa kombinasi antara ETF dan pembelian bank sentral telah menciptakan “kompetisi” terhadap pasokan emas yang terbatas.
Goldman Sachs Research memperkirakan harga emas akan naik dari US$3.220 menjadi US$3.700 per troy ounce pada akhir 2025, dan bahkan berpotensi mencapai US$3.880 jika terjadi resesi global.
Investor pribadi pun diprediksi mulai mengalihkan portofolio mereka dari aset-aset AS, seperti Treasury dan saham S&P500, yang dianggap kurang efektif sebagai safe haven dalam kondisi pasar saat ini.
Menariknya, bahkan perpindahan dana yang kecil dari pasar AS ke emas dapat berdampak besar.
Hal ini mengingat total nilai ETF emas global saat ini hanya sekitar 1% dari nilai total obligasi pemerintah AS dan 0,5% dari kapitalisasi pasar S&P500.
“Jika sebelumnya hanya bank sentral yang mendominasi pembelian, sekarang investor ETF ikut memanaskan pasar,” ujar Thomas. “Ketika keduanya bersaing untuk emas yang sama, harga jelas akan terdorong lebih tinggi lagi.” (EF)