JAKARTA – S&P Global Oil Tracker mencatat keberadaan tanker Indonesia yag mengangkut 2 juta barel minyak mentah Rusia pada 25 April 2025.

Temuan ini menarik perhatian karena Indonesia tidak tercantum dalam daftar resmi negara tujuan ekspor minyak Rusia yang dirilis dalam laporan yang sama pada 8 Mei 2025.

Temuan tersebut menempatkan Indonesia sejajar dengan negara seperti India dan Azerbaijan, yang juga masing-masing tercatat mengangkut 2 juta barel minyak dari Rusia, seperti dilansir Bloomberg, Rabu (28/5).

Posisi teratas dalam daftar pengangkut dipegang oleh Seychelles dengan 21 juta barel, diikuti oleh Yunani (17 juta barel), Uni Emirat Arab (16 juta barel), dan Kepulauan Marshall (8 juta barel).

Namun, dalam daftar negara tujuan pengiriman, Indonesia tidak muncul. Negara seperti India (1,64 juta bph), China (1,11 juta bph), dan Turki (0,27 juta bph) mendominasi sebagai pengimpor utama minyak mentah Rusia via laut.

Ketidakhadiran Indonesia dalam daftar ini mengindikasikan potensi realisasi impor melalui mekanisme berbeda atau masih dalam tahap transshipment.

Konfirmasi lebih lanjut datang dari Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Taufik Aditiyawarman, yang menyatakan pemerintah Indonesia memang telah membuka kembali kebijakan impor minyak mentah dari Rusia.

PT KPI bahkan telah melaksanakan tender terbuka sejak Mei 2024 untuk pengadaan crude, termasuk dari Rusia.

“Termasuk crude Rusia. Ada beberapa crude Rusia yang masuk. Tapi tetap harus mengikuti peraturan OPEC dan spesifikasi kilang dalam negeri,” kata Taufik saat ditemui di ajang IPA Convex 2025 di ICE BSD pada 21 Mei 2025.

Taufik menegaskan minyak mentah asal Rusia yang diimpor akan langsung diarahkan ke kilang dalam negeri, bukan disimpan di fasilitas penyimpanan.

Skema ini bertujuan meningkatkan efisiensi serapan dan produksi di dalam negeri tanpa menyalahi ketentuan tender yang berlaku.

Di sisi lain, Rusia saat ini tengah menghadapi tekanan ekonomi serius akibat sanksi price cap G7 (batas maksimum harga minyak yang ditetapkan G7 sebagai sanksi terhadap Rusia) sebesar US$60 per barel, yang diberlakukan sejak invasi ke Ukraina pada Februari 2022.

Berdasarkan data Trading Economics, harga minyak acuan Rusia Urals telah turun 14,73% sejak awal 2025 menjadi US$55,6 per barel, jauh dari puncaknya di US$117,65 pada Februari 2013.

Bahkan menurut International Energy Agency (IEA), pendapatan ekspor minyak Rusia pada April 2025 anjlok ke level terendah dalam hampir dua tahun terakhir, yakni US$13,2 miliar. Penurunan ini tak lepas dari harga global yang menurun dan permintaan internasional yang lesu.

Dengan harga yang terdiskon dan tekanan pasokan global, peluang Indonesia dalam mengimpor minyak Rusia menjadi lebih strategis, terlebih untuk menekan biaya produksi dalam negeri.

Namun, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab secara terbuka mengenai volume riil, mekanisme pengangkutan, serta tujuan akhir minyak yang diangkut tanker RI.

Langkah ini bisa menjadi strategi energi jangka pendek di tengah dinamika geopolitik dan ekonomi global yang penuh ketidakpastian. (EF)