HONG KONG – China mendirikan sebuah lembaga mediasi internasional baru yang berbasis di Hong Kong, dalam rangka menjadikan kota tersebut sebagai pusat resolusi konflik global dan menyaingi peran Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) dan Permanent Court of Arbitration di Den Haag, Belanda.

Lembaga mediasi itu bernama International Organisation for Mediation (IOM), yang secara resmi dibentuk melalui penandatanganan konvensi pada Jumat (30/5), dalam sebuah seremoni yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri China, Wang Yi.

Organisasi ini merupakan hasil inisiatif Tiongkok bersama hampir 20 negara lain sejak 2022, dengan misi pembentukan lembaga antar-pemerintah untuk menyelesaikan konflik global secara damai dan efisien, seperti dilansir South China Morning Post, Senin (2/6).

Shahla Ali, pakar resolusi konflik dari Fakultas Hukum Universitas Hong Kong, menjelaskan IOM akan menangani sengketa antarnegara, antara negara dengan warga negara asing, serta antara perusahaan lintas yurisdiksi.

"Mediasi menjadi solusi penting di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global," ujar Ali.

Jose-Antonio Maurellet, Ketua Asosiasi Advokat Hong Kong, menambahkan jenis perselisihan seperti perdagangan dan kekayaan intelektual juga akan mendapat tempat dalam skema mediasi ini.

“Kami satu-satunya yurisdiksi common law di Tiongkok, ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mitra internasional,” kata Maurellet.

Persiapan IOM dimulai sejak 2023 ketika Beijing mendirikan kantor persiapan di Hong Kong. Setahun kemudian, pemerintah daerah menerima persetujuan legislatif untuk mengalokasikan HK$467 juta (sekitar Rp950 miliar) guna merenovasi markas organisasi di bekas kantor polisi Wan Chai.

Sun Jin, mantan pejabat senior di Kementerian Luar Negeri China, memimpin tahap persiapan IOM dan menjanjikan solusi sengketa lintas negara dengan pendekatan yang hemat biaya dan inklusif.

Langkah ini memperkuat posisi Hong Kong dalam persaingan regional dengan Singapura. Sejak 2019, Singapura telah memimpin konvensi mediasi, yang mengikat 46 negara termasuk Tiongkok dan AS, dalam urusan sengketa komersial lintas negara.

Namun, menurut Ali, kedua kota justru bersifat saling melengkapi. “Hong Kong dan Singapura berada di tiga besar yurisdiksi global untuk penyelesaian sengketa lintas negara. Keberadaan dua model mediasi yang kuat memberi lebih banyak opsi kepada pelaku internasional,” katanya.

Sementara itu Joanne Lau, Sekjen Pusat Arbitrase Internasional Hong Kong, mengatakan banyak kontrak bisnis kini menyertakan mediasi sebagai tahap awal penyelesaian sengketa, sebelum beralih ke tahap arbitrase atau pengadilan.

Popularitas mediasi meningkat seiring dengan kebutuhan akan pendekatan yang lebih kooperatif dalam menyelesaikan konflik.

Statistik Pengadilan Hong Kong menunjukkan dari 290 kasus di Pengadilan Tinggi pada 2024, 46% berhasil diselesaikan lewat mediasi, sementara di Pengadilan Distrik angkanya mencapai 57% dari 364 kasus. (EF/KR)