JAKARTA - Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menggandakan tarif impor baja dan aluminium dari 25% menjadi 50%, yang berlaku mulai Rabu (4/6), memicu kecaman dari berbagai pihak, terutama para pelaku industri yang terdampak langsung.

Meskipun Trump menyebut kebijakan ini sebagai upaya melindungi industri baja domestik, para pengusaha, asosiasi industri, dan ekonom justru melihatnya sebagai ancaman terhadap kelangsungan usaha, lapangan kerja, dan hubungan perdagangan internasional.

Rick Huether, CEO Independent Can Co, perusahaan pembuat kaleng dekoratif berbasis di Maryland, menyebut keputusan tersebut menciptakan ketidakpastian ekstrem di kalangan pelaku industri. Perusahaannya mengimpor baja dari Eropa dan sangat bergantung pada pasokan luar negeri yang kini dikenakan tarif lebih tinggi.

“Selalu jadi pertanyaan, apakah ini hanya taktik atau rencana jangka panjang Trump? Karena kalau ini permanen, kami tidak tahu harus bagaimana. Banyak pelanggan bisa beralih ke kemasan plastik atau kertas,” ujarnya, seperti dilansir BBC, Rabu (4/6).

Dampak ekonomi yang dirasakan bukan hanya pada pasokan, tapi juga menyentuh langsung neraca keuangan perusahaan kecil-menengah.

Chad Bartusek, Direktur Supply Chain di perusahaan manufaktur keluarga Drill Rod & Tool Steels, Illinois, mengatakan ia harus menanggung biaya tarif yang melonjak dua kali lipat hanya dalam hitungan hari.

“Saya bangun pagi, lihat berita, dan rahang saya benar-benar jatuh. Tadinya kami perkirakan membayar US$72.000, sekarang jadi hampir US$145.000. Ini seperti pukulan beruntun,” katanya.

Akibatnya, Bartusek terpaksa menaikkan harga jual produknya antara 8–14% dan bahkan mengurangi jam kerja karyawan.

Kekhawatiran serupa juga datang dari Inggris. Gareth Stace, Direktur Jenderal UK Steel, mengatakan meskipun Inggris berhasil mempertahankan tarif 25% berkat perjanjian perdagangan yang sedang dinegosiasikan, ketidakpastian yang muncul tetap mengancam kelangsungan ekspor ke pasar AS.

“Kalau tarif 50% itu benar-benar berlaku, bisa jadi bencana untuk kami. Sekitar 7% ekspor baja Inggris menuju AS, dan sebagian besar pesanan kini sudah dibatalkan,” tegasnya.

Ia menyebut kebijakan ini sebagai tembok penghalang yang sangat tinggi bagi produsen baja non-AS.

Dari sisi kebijakan ekonomi, Erica York, Wakil Presiden Kebijakan Pajak Federal dari Tax Foundation, menyebut langkah Trump sebagai kesalahan strategis.

Menurutnya, tarif tinggi atas bahan baku seperti baja dan aluminium berdampak buruk pada sektor manufaktur dan konstruksi yang sangat tergantung pada kedua komoditas itu.

“Ini kebijakan yang sangat ceroboh. Data kami menunjukkan pada periode pertama Trump menjabat presiden, tarif serupa hanya menambah 1.000 pekerjaan di sektor baja tapi menghilangkan 75.000 pekerjaan di sektor lain. Sekarang, dampaknya bisa lebih parah,” paparnya.

Uni Eropa juga merespons hal senada. Olof Gill, juru bicara Komisi Eropa untuk perdagangan, mengonfirmasi bahwa blok Eropa tengah melakukan negosiasi intensif dengan AS untuk membatalkan tarif tersebut.

“Kami berharap AS menarik kembali kebijakan ini, seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Tapi hingga kini, belum ada jaminan,” katanya.

Sementara itu, di tengah gelombang kritik, Presiden Trump menyatakan kebijakan ini diperlukan untuk menghalangi negara-negara lain merusak industri baja Amerika.

“Di tarif 25%, mereka bisa lewati pagar. Tapi dengan 50%, tidak ada lagi yang bisa mencuri industri Anda,” ujarnya dalam pidatonya di pabrik US Steel.

Namun bagi banyak pihak, pagar yang dibangun Trump justru menjadi tembok yang menghalangi perdagangan sehat dan mengancam keberlanjutan bisnis yang selama ini bergantung pada rantai pasok global. (EF)