China masih bekukan ekspor mineral langka. Bagaimana respon Amerika?

JAKARTA - Pemerintahan Presiden Xi Jinping meluncurkan 'senjata' ekonomi miliknya, yaitu kontrol hampir total atas pasokan logam tanah jarang (rare earth elements) global, komponen penting bagi berbagai industri teknologi dan militer.
Hal ini mengguncang Gedung Putih. Pasalnya, logam tanah jarang digunakan dalam produksi kendaraan listrik, chip komputer, sistem pertahanan seperti jet tempur F-35, hingga kapal selam nuklir.
China memproduksi sekitar 61% dari total pasokan logam tanah jarang dunia. Namun yang lebih krusial, negara itu menyaring dan mengolah 92% dari pasokan global, menurut data International Energy Agency (IEA).
“Mineral kritis adalah salah satu kartu tawar terkuat China terhadap Washington,” ujar Matilda Buchan, analis senior di Asia House, lembaga kajian kebijakan di London, dikutip The Telegraph, Kamis (5/6).
Ketegangan memuncak sejak Trump mengumumkan kenaikan tarif impor barang China hingga puncaknya 145% pada awal April lalu.
Sebagai balasan, China melarang ekspor paduan magnet mengandung tujuh unsur tanah jarang kunci, yaitu samarium, gadolinium, terbium, dysprosium, lutetium, yttrium dan scandium, ke AS, pada 4 April 2025 lalu.
Pada 9 Mei, raksasa otomotif seperti General Motors, Toyota, Volkswagen, dan Hyundai melayangkan surat peringatan ke Gedung Putih. Mereka menyatakan produksi akan terhenti jika pasokan dari China tidak segera dibuka kembali.
Malam itu juga, Trump mengumumkan lewat akun Truth Social ia siap memberikan konsesi besar demi mencapai kesepakatan. Akhir pekan itu (12/5), perundingan intensif berlangsung di Jenewa. Hasilnya tarif dikurangi, dan China diam-diam melonggarkan embargo.
Namun, ekspor logam tanah jarang belum kembali mengalir lancar.
“Kami belum melihat pasokan yang seharusnya sudah mulai mengalir,” ujar Jamieson Greer, Utusan Dagang Trump, kepada CNBC (4/6).
Ia menuduh Beijing memperlambat secara strategis penerbitan lisensi ekspor.
Menurut David Merriman, Direktur Riset Project Blue, firma konsultan mineral kritis, pelambatan lebih disebabkan proses administratif baru China yang mensyaratkan lisensi ekspor untuk bahan yang mengandung lebih dari 0,1% unsur tertentu.
“Butuh waktu rata-rata 45 hari untuk proses ini,” jelasnya.
Michael Hart dari Kamar Dagang Amerika di China mengonfirmasi sebagian izin ekspor mulai diberikan, namun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan industri.
Jens Eskelund, Presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China, menjelaskan kepada New York Times: “Produksi di pabrik bisa segera terhenti. Pasokan masih sangat terganggu.”
Sementara itu, Trump mencoba membalas dengan senjata teknologi, dengan memperketat ekspor chip dan perangkat lunak terkait ke China, terutama yang berkaitan dengan kecerdasan buatan (AI).
Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menyebut tindakan ini sebagai upaya memberikan pesan bagaimana rasanya "dibatasi” kepada China. Namun, Kementerian Perdagangan China menuduh AS memprovokasi friksi ekonomi baru secara sepihak.
Di sisi lain, upaya AS membangun alternatif, dari Ukraina hingga Greenland, masih jauh dari realisasi. Bahkan menurut estimasi IEA, China masih akan menguasai 85% produksi logam tanah jarang olahan hingga satu dekade ke depan.
“Semakin ke hilir rantai pasok, dominasi China makin menguat,” ujar David Merriman, Direktur Riset Project Blue. (EF/ZH)