JAKARTA – S&P 500 berpotensi anjlok setelah Moody’s menurunkan rating kredit sempurna Amerika Serikat (AS) menjadi “Aa1” dengan outlook “stable” pada Jumat (16/5) lalu waktu setempat.

Hal ini sekaligus membuat AS resmi kehilangan peringkat kredit sempurna dari ketiga lembaga pemeringkat global: S&P, Fitch Ratings, dan Moody’s.

Berdasarkan data historis yang dipaparkan Adam Khoo, pebisnis dan investor saham profesional asal Singapura, dalam akun Facebook miliknya, tiap peringkat kredit AS dipangkas, S&P anjlok.

Pada Agustus 2011 lalu, S&P menjadi lembaga pemeringkat kredit global pertama yang menurunkan rating kredit AS. Saat itu, S&P 500 anjlok 10,37% dalam 41 hari sejak pengumuman rating tersebut.

Tidak hanya itu, hal serupa terjadi ketika Fitch Ratings memangkas rating kredit AS pada Agustus 2023. S&P kembali merosot hingga 10,31% dalam 58 hari perdangangan saham.

Namun, ia juga melihat bahwa terdapat potensi tersembunyi dari anjloknya indeks acuan ini. Adam memaparkan bahwa S&P 500 tercatat mampu tumbuh lagi hingga masing-masing 36% dan 37% dalam 12 bulan setelah dua kali penurunan tajam di 2011 dan 2023.

“Jika S&P500 turun hingga 10% lagi kali ini, maka ini menjadi kesempatan baik untuk saya menambah muatan saham perusahaan berkualitas tinggi sekali lagi,” ujarnya.

Menurutnya, sikap panic selling investor justru dapat menjadi peluang yang baik untuk mengakumulasi beberapa saham The Magnificent Seven, seperti Amazon, Microsoft, Google, dan Meta dengan harga “diskon.”

Pada penutupan perdagangan hari Jumat (16/5) lalu, S&P 500 masih ditutup meningkat 0,7% di level 5,958.38. Dow Jones Industrial Average juga naik 0,78%, sementara Nasdaq tumbuh 0,52%. (ZH)