Moody’s turunkan peringkat AS, imbal hasil obligasi melonjak

WASHINGTON — Imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) melonjak tajam dan mencapai level tertinggi sejak November 2023, setelah lembaga pemeringkat Moody’s secara resmi menurunkan peringkat kredit jangka panjang AS pada Jumat (17/5) lalu.
Imbal hasil obligasi tenor 30 tahun sempat menyentuh 5,03% sebelum turun ke 4,921%, atau naik 2 basis poin. Sementara itu, imbal hasil tenor 10 tahun juga naik 2 basis poin menjadi 4,459%, dan obligasi 2 tahun turun tipis ke 3,972%. Sebagai catatan, 1 basis poin setara dengan 0,01%, dan pergerakan imbal hasil berbanding terbalik dengan harga obligasi.
Kenaikan ini terjadi tak lama setelah Moody’s memangkas peringkat kredit AS dari Aaa (tertinggi) menjadi Aa1, menyusul kekhawatiran mengenai beban utang pemerintah dan tingginya biaya bunga akibat suku bunga yang terus berada di level tinggi.
“Penurunan satu tingkat ini mencerminkan peningkatan selama lebih dari satu dekade dalam rasio utang dan pembayaran bunga pemerintah ke level yang secara signifikan lebih tinggi dibanding negara-negara lain dengan peringkat serupa,” demikian pernyataan resmi Moody’s seperti dikutip dari CNBC.
Ini adalah pertama kalinya sejak 1949 Moody’s menurunkan “country ceiling rating” AS dari Aaa, menyusul langkah serupa oleh lembaga pemeringkat besar lainnya seperti Fitch dan S&P.
Langkah Moody’s ini disebut simbolis namun penting oleh analis dari Deutsche Bank, karena sebelumnya Moody’s adalah satu-satunya lembaga besar yang masih mempertahankan peringkat tertinggi bagi AS.
Seiring sesi perdagangan berjalan, para investor terlihat mulai membeli obligasi kembali, yang sedikit meredam lonjakan imbal hasil awal. Namun, pasar masih dibayangi kekhawatiran jangka panjang terhadap kondisi fiskal AS.
Situasi ini semakin kompleks karena House of Representatives AS yang dikuasai Partai Republik tengah mendorong RUU Pajak dan pengeluaran versi Trump, yang diperkirakan akan menambah triliunan dolar pada defisit anggaran.
Moody’s juga menyoroti minimnya disiplin fiskal AS, “Pemerintahan AS dan Kongres secara berulang gagal mencapai kesepakatan untuk membalik tren defisit fiskal tahunan yang besar dan biaya bunga yang terus meningkat,” ujar Moody’s.
Seperti diketahui, setelah Trump mengobarkan perang tarif, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun AS melonjak ke 4,45%, level tertinggi sejak Januari. Kenaikan yield obligasi AS itu diduga mampu memaksa Trump menunda kenaikan tarif 90 hari kepada sekitar 70 negara.
Namun, Trump menegaskan bahwa langkah tersebut tidak ada hubungannya dengan aksi obral obligas pemerintah AS.
Ekonom dari Bank of America, Aditya Bhave, menyebut pemangkasan pajak dan kebijakan tarif yang masih dalam pembahasan justru memperburuk prospek fiskal AS.
“Penerimaan dari tarif tidak akan cukup untuk menutup biaya dari RUU pajak baru yang diusulkan. Kami sependapat,” tulisnya dalam sebuah catatan, dikutip Bloomberg, Selasa (20/5).
Dengan kondisi ini, para investor kini mulai mempertanyakan kembali apakah obligasi pemerintah AS masih bisa dianggap sebagai aset safe haven (aman) di tengah ketidakpastian kebijakan dan lonjakan utang yang berkelanjutan. (EF)