Sri Mulyani beberkan desain ekonomi makro untuk APBN 2026

JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2026 dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (20/5).
Dokumen strategis ini akan menjadi fondasi dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, dan disusun dengan mempertimbangkan ketidakpastian serta perubahan dramatis dalam tatanan ekonomi global.
Sri Mulyani menekankan dunia saat ini mengalami pergeseran besar dari kerja sama multilateral menjadi fragmentasi ekonomi dan proteksionisme.
“Globalisasi berubah menjadi persaingan sengit dan prinsip inward looking seperti 'my country first,' memicu gangguan rantai pasok serta meningkatkan risiko dan biaya transaksi global,” tegasnya, dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (21/5).
Menurut proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 diperkirakan hanya sebesar 2,8%, turun 0,5 poin dari proyeksi sebelum konflik tarif. Indonesia juga mengalami revisi proyeksi, dari sebelumnya 5,1% menjadi 4,7% untuk 2025 dan 2026.
Pemerintah berupaya mendorong investasi, memperbaiki iklim usaha, serta melakukan deregulasi untuk meningkatkan daya saing.
Penggunaan instrumen fiskal, termasuk insentif pajak dan belanja negara, difokuskan pada perlindungan dunia usaha dan masyarakat.
Fokus kebijakan fiskal 2026 diarahkan untuk memperkuat ketahanan pangan, energi, dan ekonomi menuju Indonesia yang tangguh dan mandiri.
Salah satu aspek penting adalah efisiensi dalam belanja negara. Sri Mulyani menyatakan pemerintah akan mengevaluasi kinerja kementerian dan lembaga hingga dua bulan ke depan sebelum menetapkan pagu anggaran.
Langkah ini sejalan dengan program prioritas Presiden Prabowo Subianto yang tertuang dalam Asta Cita 8, untuk memastikan anggaran diarahkan pada bidang yang memberi dampak langsung bagi masyarakat.
Postur makro fiskal dalam KEM-PPKF 2026 mencakup proyeksi pendapatan negara sekitar 11,71%–12,22% dari PDB, dengan belanja negara antara 14,19%–14,75% dari PDB.
Defisit anggaran dijaga dalam kisaran 2,48%–2,53% dari PDB. Di sisi asumsi makro, pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,2%–5,8%, inflasi 1,5%–3,5%, dan nilai tukar rupiah di kisaran Rp16.500–Rp16.900 per dolar AS.
Pemerintah juga menargetkan perbaikan indikator sosial-ekonomi, seperti penurunan tingkat kemiskinan ke 6,5%–7,5%, tingkat pengangguran terbuka ke 4,44%–4,96%, rasio gini ke 0,377–0,380, dan peningkatan Indeks Modal Manusia dari 0,56 menjadi 0,57.
Langkah-langkah ini tidak hanya mempertimbangkan transisi pemerintahan, namun juga berfungsi sebagai tahap menuju Visi Indonesia Emas 2045. (EF)