JAKARTA – Pemerintah Indonesia tengah merumuskan langkah strategis merespons kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS).

Melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga, serta komunikasi intensif dengan United States Trade Representative (USTR), U.S. Chamber of Commerce, dan para mitra dagang lainnya, Indonesia menegaskan akan memilih jalur diplomasi dibanding retaliasi atau langkah balasan.

Tarif resiprokal akan mulai berlaku pada 9 April 2025, menyasar sejumlah produk impor ke AS. Namun ada pengecualian untuk sejumlah kategori seperti barang medis, kemanusiaan, dan komoditas strategis seperti baja, aluminium, semikonduktor, serta energi dan mineral yang tidak tersedia di AS.

Alih-alih membalas kebijakan tarif dengan tindakan serupa, Indonesia menyusun proposal negosiasi yang berfokus pada relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk tertentu. Proposal ini juga mencakup rencana peningkatan pembelian produk asal AS guna mengurangi defisit perdagangan yang saat ini mencapai US$18 miliar.

Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, menyampaikan tarif impor Indonesia terhadap produk-produk asal AS, seperti gandum dan kedelai, sudah tergolong rendah, bahkan nol persen untuk beberapa komoditas.

Oleh karena itu Indonesia, kata Airlangga, tidak akan menawarkan penurunan tarif sebagai bagian dari negosiasi, namun memilih pendekatan yang lebih strategis dan berbasis win-win solution.

Pemerintah juga memprioritaskan perlindungan terhadap sektor industri padat karya berorientasi ekspor, seperti apparel dan alas kaki, yang paling rentan terhadap fluktuasi tarif dan pasar global. Berbagai insentif dan dukungan fiskal juga tengah disiapkan, agar industri dalam negeri tetap kompetitif dan berkelanjutan.

Forum sosialisasi dan penjaringan masukan dari pelaku usaha dijadwalkan berlangsung pada Senin (7/4). Pemerintah ingin memastikan bahwa pelaku industri menjadi bagian dari perumusan kebijakan strategis nasional.

Sebagai bagian dari respons menyeluruh, pemerintah juga mendorong percepatan kerja sama perdagangan internasional, khususnya dengan Uni Eropa, yang merupakan pasar terbesar kedua setelah China dan Amerika Serikat. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu pasar dan membuka peluang akses pasar baru bagi produk-produk unggulan Indonesia.

“Ini juga bisa kita dorong, sehingga kita punya alternatif market yang lebih besar,” ungkap Menko Airlangga, dalam keterangan resminya, dikutip Selasa (8/4).

Dalam Rapat Koordinasi Terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo, pemerintah menegaskan bahwa setiap kebijakan akan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian fiskal, menjaga stabilitas APBN, dan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang hubungan bilateral Indonesia–Amerika Serikat.

Hingga saat ini, komunikasi dengan USTR masih berlangsung, dan proposal akhir dari Indonesia sedang dalam tahap finalisasi sebelum batas waktu resmi dari AS. (EF/KR)